Secara logika muslim, Allah tentu
saja senang dengan muslim yang giat berusaha, memiliki kegiatan, bekerja,
beramal, dan tidak berdiam diri. Allah tentu saja bangga melihat umat yang
kreatif dalam berkreasi. Nah, berangkat dari itu semua, tentu perempuan bekerja
pun tidak dilarang Allah. Asal herus diingat bahwa semua itu sesuai dengan
jalan Islam.
Firman Allah,
“Maka Tuhan mereka memperkenankan
permohonannya (dengan berfirman), ‘Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal
orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan...’”
(QS Ali Imran [3]:195)
Berpikir dan bekerja (melakukan
aktivitas) sudah menjadi tabiat manusia sebagai makhluk hidup. Jika tidak
demikian maka dia bukanlah manusia. Khususnya sebagai seorang istri, aktivitas
yang baik adalah taat kepada suaminya. Taat dalam berumah tangga, taat dalam
mengambil keputusan, taat menjalankan peran sebagai seorang istri, dan taat
dalam menjalani kehidupan dengan suami. Tetapi tentu ketaatan yang tidak
melanggar syariat Islam.
Pekerjaan apapun yang diniati karna
Allah, pasti akan bernilai ibadah. Jadi, jika istri memegang tampuk ‘kekuasaan’
sebagai direktur di sebuah perusahaan, tetapi niatnya untuk menimbun kekayaan,
sudah pasti tidak bernilai ibadah. Malah dikhawattirkan menimbulkan konflik dan
fitnah di lingkungan. Sebaliknya, jika istri ‘hanya’ berperan sebagai ibu rumah
tangga, namun semua itu diniati dengan hati yang ikhlas karena Allah, sudah
pasti bernilai ibadah dan mendapat pahala dari-Nya. Jadi, alangkah baiknya
seorang perempuan yang memiliki karir meniatkan pekerjaannya sebagai sebuah
ibadah.
“Barang
siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuandalam keadaan
beriman maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah merekakerjakan.” (QS An-Nahl [16]:97)
Berkaitan dengan hal tersebut, bisa
dikatakan bahwa bekerja adalah salah satu amal ibadah. Disamping menjadi
manusia yang dituntut beramal secara individu, perempuan juga adalah makhluk
sosial. Dia adalah bagian dari masyarakat. Jadi, memang pada dasarnya tidak
apa-apa seorang istri mengambil peran dalam masyarakat.
Jika tidak kembali menelaah
keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa awal Islam, tidaklah
berlabihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan perempuan aktif dalam
berbagai aktivitas. Para perempuan boleh bekerja dan berkarir dalam berbagai
bidang, asal dilakukan dengan cara yang baik, benar, dan halal, sesuai
ketentuan syariat. Baik secara mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga
pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebutt dilakukannya dengan suasana
terhormat, sopan, serta selama mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat
pula menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri
dan lingkunganya.
muslimah diperbolehkan
bekerja dengan alasan-alasan sebagai berikut. Pertama, jika ia seorang janda. Seorang janda baik janda secara
substansi maupun secara status diperbolehkan bekerja untuk menjaga jati dirinya
dan mencegah perbuatan mengemis dan berutang.
Kedua,
membantu suaminya dan suaminya mengizinkan. Dalam hal ini istri berperan
sebagai mitra kerjasama secara ekonomis. Ketiga,
membantu keluarga suami atau istri. Ketika seseorang memerlukan bantuan, maka
yang wajib menolongnya adalah keluarga terdekatnya. Sebagaimana firman Allah
Swt.,
“Dan
tatkala ia sampai sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan
orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai dibelakang orang
banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata,
“Apakah maksudmu(dengan berbuat at begitu)?” Kedua wanita itu menjawab, “Kami
tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembalaittu
memulangkan (ternaknya), sedang bapak kam adalah orangtua yang telah lanjut
umunya.’
bisnis baru ustad yusuf mansur
bisnis baru ustad yusuf mansur