Lalu, bagaimana
jika sampai Ramadan berikutnya qadha tak sempat dijalankan?
Ada dua pendapat
mengenai hal ini. Pertama, yang mewajibkan adanya denda (fidiah) dan yang kedua
tak mewajibkannya.
Untuk yang
mewajibkan, adanya fidiah bersandar pada pandangan Imam Syafi’I, Imam Malik,
dan beberapa ulama lainnya. Pendapat membayar fidiah ini juga umum dipahami
masyarakat Indonesia yang ulamanya banyak menganut Mazhab Syafi’i. jadi jikalau
seseorang wanita tak meng-qadha puasanya sampai Ramadan berikutnya, ia harus
membayar fidiah, yakni memberi makan sehari satu orang miskin dengan tetap
meng-qadha puasa tersebut. Artinya, kewajiban berpuasanya tetap ia jalankan
selain membayar fidiah itu.
Namun, kewajiban
fidiah ini juga terkait syarat tertentu, yakni tak adanya uzur syar’I yang
menghalangi orang tersebut untuk menunda qadha puasanya. Uzur syar’I ini misalnya
hamil, menyusui, ataupun sakit. Halangan-halangan ini membuat orang tersebut
memang tak bisa meng-qadha puasanya. Untuk kasus seperti ini, fidiah tak perlu
dibayarkan. Fidiah hanya perlu dibayarkan jika orang tersebut tak memiliki
halangan apa pun untuk menunda qadha-nya, tetapi ia menunda sampai Ramadan
berikutnya datang.
Fidiah sendiri
hanya sesuai hari yang dilalaikan qadha-nya itu. Jadi, jika seseorang berhutang
7 hari puasa dan hanya sempat membayar 4 hari sebelum Ramadan berikutnya
datang, ia hanya membayar fidiah sebanyak 3 hari yang masih terhutang. Fidiah
yang harus dibayar sendiri ditetapkan sebesar 1 mud makanan pokok, sekira nasi
yang biasa dimakan seseorang dalam satu hari. Ada yang menyebut jumlahnya
seperempat dari zakat fitrah atau kurang dari satu liter beras (600 gram
beras)
Di lain pihak,
ulama Hanafiyah tidak mewajibkan fidiah jika qadha ditunda dengan atau tanpa
adanya uzur sampai tiba Ramadan berikutnya. Ia boleh meng qadha-nya sampai tiba
masanya ia mampu membayar qadha itu, meskipun sudah dua atau tiga Ramadan
dilaluinya. Pendapat ini lahir karena tak adanya dalil pasti mengenai membayar
fidiah pada kasus orang yang menunda qadha sampai datang Ramadan tahun
berikutnya. Ketiadaan dalil ini juga diperkuat oleh pendapat Sayyid Sabiq
penulis Fikih Sunah. Jadi, kewajiban qadha puasa itu tetap melekat, silahkan
ditunaikan kapan mampu, tanpa perlu membayar fidiah.
Membayar fidiah
sendiri sejatinya dilakukan jika seseorang meninggal dunia, tapi belum sempat
membayar puasa yang ia tinggalkan. Ini termaktub dalam hadis riwayat
At-Tirmidzi dari Ibn Umar, bahwa Rasulullah saw bersabda; “Barang siapa
meninggal dan ada puasa Ramadan yang telah ia ditinggalkan, maka hendaklah
diberi makan atas namanya sehari seorang miskin.”
Juga hadis riwayat
Ibnu Abbas; “Apabila seseorang lelaki sakit dalam bulan Ramadan, kemudian ia
meninggal dunia, padahal ia tidak berpuasa, diberi makanlah atas namanya
(difidiahkan). Tak ada qadha atasnya. Dan jika puasa nazar hendaklah di
qadha-kan oleh walinya.”
Dari hadis di atas
ulama mewajibkan fidiah atas orang yang meninggalkan puasa dan ia tidak dapat
meng-qadha-nya sebelum ia meninggal dunia. Ibnu Abbas r berkata, “Jika ia
meninggalkan puasa tanpa uzur, wajiblah difidiahkan dan jika dengan uzur,
tidk”. Asy Syafi’I berkata, “Jika ia tidak meng-qadha-nya hingga setahun dengan
ketiadaan uzur, wajiblah difidiahkannya dan jika ada uzur, tidak”.
Nah, kita boleh
mengambil salah satu dari dua pendapat ini sebab masing-masing ulama memiliki
pertimbangan sendiri. Namun begitu, menangguhkn kewajiban agama tentulah bukan
perkara yang baik dan bisa membuat orang dekat dengan kelalaian. Yang utama,
tentu saja hutang puasa mesti dibayar sesegera mungkin. Waktunya luas dan ini
merupakan keringanan yang mesti kita syukuri tanpa perlu membuat kita terlena.
Siti Aisyah mengisahkan ia membayar hutang puasa di bulan syaban, tapi ia tak
menyebut bahwa ia melewati Ramadan berikutnya dengan masih ada hutang puasa
padanya, bukan? Kalau kita sehat, tak ada halangan, juga tak memiliki kesulitan
apa pun, sungguh aneh jika hutang puasa tak terbayar sampai datang Ramadan
berikutnya. Jangan sampai penundaan itu lahir dari hati kita yang cuek,
ceroboh, atau tak memperhatikan kewajiban agama kita.
Kiat
meng-qadha puasa
1. Lakukan sesegera mungkin.
Jangan menunda kerena, biasanya, semakin ditunda semakin malas.
2. Pilih hari yang nyaman.
Misalnya, pada hari puasa sunah biasa dilaksanakan, yakni senin atau kamis,
tetapi dengan niat puasa qadha.
3.
Komunikasikan dengan suami
saat berpuasa qadha agar tak ada salah paham.
4. Tetap memperhatikan
sunah-sunah puasa seperti mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka.
bisnis baru ustad yusuf mansur
bisnis baru ustad yusuf mansur