Berihram dengan pakaian seragam putih
Berselendang kain ihram yang terdiri dari
dua lembar kain putih, sebagai lambang lepasnya keindahan dunia yang
beraneka-ragamnya, sebagai lambang lepasnya hawa nafsu (yang selalu menjurus
kepada keburukan) dan lepasnya diri dari segala selubung kekotoran yang
menghalangi ma’rifat kepada Allah, menghalangi akal dan pikirannya untuk
mengetahui hakekat hidup dan tujuannya yang hakiki dan suci lahir batin seperti
kain putih.
Dari ihram dapat pula menyadarkan orang
akan kesamaan wujud dan bentuk, kesamaan sumber (asal), tunduk kepada Tuhan
yang Satu kemudian menginsyafi kemanusiaannya, di mana ukurannya terletak pada
sejauh mana pengabdiannya kepada Allah Swt secara ikhlas dan bersih dari
syirik. Kemudian sampai sejauh mana kesadarannya untuk menciptakan persaudaraan
dengan sesamanya.
Thawaf tujuh kali keliling Ka'bah
Thawaf, bukan semata-mata gerakan jasmani
mengitari Ka’bah, berdesak dengan orang-orang banyak, tetapi di samping itu,
berjalan satu arah dan tujuan, dengan insan yang seiman, dengan maksud, bahwa
kehidupan ini penuh dengan perjuangan, persaingan dan saling berlomba untuk
mencapai kebahagiaan dunia-akherat, dengan obyeknya adalah dengan memakmurkan
dunia ini, dan ingat kepada Allah Swt dengan segala kebesaran dan
kekudusan-Nya, sehingga benar-benar menjadi pencinta Dzat Yang Wajib
Dicintainya, yang nampak hikmat-Nya tetapi tidak terlihat Dzat-Nya.
Kaum muslimin melakukan thawaf sekeliling
Ka’bah mengusap atau mencium Hajar Aswad adalah sebagai tanda memuliakan Allah
Swt karena Bait-Nya, tidak seperti kaum musyrikin, yang memuliakan Ka’bah
(sebelum Islam) dengan menempatkan berhala-berhala di sekitarnya dan sekaligus
menjadikan sesembahannya; dan tidak menyembah Allah Swt secara langsung.
Kaum mulimin juga tidak melakukannya
sebagai orang-orang musyrik, menjadikan berhala sebagai perantara untuk
mendekatkan diri kepada Allah sebagaiman yang dilukiskan dalam firman Allah:
“kami
tidak menyembah mereka kecuali untuk mendekatkan diri kami kepada Allah
sedekat-dekatnya”. (QS. Az-Zumar : 3)
Keyakinan Ummat Islam terhadap Ka’bah
tidaklah seperti faham kaum musyrikkin, khususnya terhadap Hajar Aswad,
sebagaimana yang ditegaskan oleh Umar bin Khaththab ra.
“Sesungguhnya
aku tahu bahwa engkau hanya batu semata yang tidak dapat memberi madlarat atau
manfaat, seandainya tidak aku saksikan Rasulullah Saw. mencium engkau, niscaya
akupun tidak akan melakukannya”. (Diriwayatkan oleh Jamaah, Ahmad Buchani
Muslim dan Ashhabus Sunan).
Jelas kiranya bahwa kaum muslimin mengusap
atau mencium Hajar Aswad bukan memuliakan batu itu, tetapi semata-mata karena
ittiba’ kepada Nabi Muhammad Saw.
Thawaf dilakukan dengan posisi Ka’abah di sebelah kiri,
Hal ini sesuai dengan sunnah Nabi. Tapi ditinjau dari segi lain, bahwa putaran
thawaf dengan mengambil posisi Ka’bah di sebelah kiri ini adalah mengikuti arah
rotasi (peredaran) bumi berputar ke arah kiri. Dengan demikian putaran thawaf
sesuai dengan arah rotasi tersebut. Tapi kalau mengambil posisi thawaf Ka’bah
berada di sebelah kanan, berarti posisi kita berlawanan dengan rotasi bumi.
Akibatnya kita akan pusing dan tidak dapat bertahan lama. Selain dari itu,
diharapkan dengan beradanya Ka’bah di sebelah kiri, agar hati kita selalu dekat
kepada Ka’bah, dengan sendirinya akan selalu inget kepada Allah Swt.
bisnis baru ustad yusuf mansur
bisnis baru ustad yusuf mansur