Sebut
saja namaku Yahya, aku seorang anak yatim. Ayahku meninggal dunia ketika aku
masih duduk di bangku SD. Sejak itu, ibuku harus bekerja membanting tulang
untuk mencari nafkah. Ibuku menjadi kepala keluarga pencari nafkah, sekaligus
menjadi satu-satunya orang yang merawat diriku hingga dewasa. Ibu bekerja sebagai
pembantu rumah tangga untuk membiayai hidup kami.
Aku
adalah anak satu-satunya. Dengan kegigihannya mencari nafkah, ibuku berhasil
membiayai pendidikanku sampai selesai dari universitas. Itu semua membuatku
sangat bersyukur dan bertekat untuk selalu berbakti kepadanya. Dan ketika
datang panggilan untuk belajar di luar negeri, hatiku merasa sangat berat harus
berpisah dan meninggalkan ibu sendiri. Namun ibu menguatkanku dan memintaku
agar selalu tegar.
Ketika
melepas kepergianku, dengan berlinang air mata ibu berkata ; “Jagalah dirimu
baik-baik wahai anakku, berdoalah selalu kepada Allah agar selalu memberikan
cahaya terang pada semua jalan yang kau lalui, sehingga kelak kau bisa pulang
dengan selamat, dan ibu akan selalu menantikanmu.”
Aku
berhasil menyelesaikan studiku dengan waktu yang cukup lama dan melalui
perjuangan keras di negeri orang. Aku pulang dengan perubahan yang cukup besar.
Peradaban dunia barat telah banyak mempengaruhi kepribadianku, agama sudah
tidak lagi menjadi panutan dalam hidupku. Aku memandangnya hanya sebagai sebuah
produk budaya jaman baheula. Bagiku, agama adalah sebuah keterbelakangan. Aku
hanya beriman pada hal-hal yang berwujud konkrit saja. Wal ‘Iyadzu billah.
Dengan
berbekal ijazah dari pendidikan di negeri barat, tidak sulit bagiku untuk
mendapatkan pekerjaan. Aku mendapat pekerjaan di perusahaan ternama di kota
kelahiranku dengan posisi yang cukup terpandang. Aku mulai berfikir untuk
mencari seorang isteri hingga akhirnya aku mendapatkannya tanpa kesulitan.
Walaupun ibuku sudah memilihkan seorang gadis yang taat beragama, tapi aku
tidak menghendakinya. Aku sudah menetapkan pilihan pada gadis impianku, seorang
penyanyi club malam yang cantik, karena aku dari dulu menginginkan kehidupan
yang gemerlap.
Belum
genap sebulan sejak hari pernikahanku, isteriku berselisih paham dengan ibuku.
Pada waktu itu, aku baru pulang dari bekerja, tiba-tiba isteriku menyambutku
dengan isak tangis, aku menanyakan mengapa dia sampai menangis seperti itu,
lalu ia menjawab, “Ibumu memusuhiku di rumah ini,” mendengar hal itu
kesabaranku hilang. Aku kalap dan mengusir ibuku dari rumah, ibu pergi
meninggalkan rumah tanpa membawa bekal apapun, dan sambil menangis ia berkata,
“Mudah-mudahan Allah membahagiakanmu wahai anakku.”
Beberapa
saat kemudian emosiku mulai mereda. Aku berlari keluar mencari ibuku tapi tak
kutemukan, aku kembali ke rumah dengan perasaan gundah, namun isteriku mampu
meredam kegundahanku dan membuatku lupa dengan ibuku. Sudah hampir setahun aku
tak mendengar kabar tentang ibuku. Dalam rentang waktu tersebut aku terkena
penyakit yang cukup parah sehingga terpaksa harus opname di rumah sakit untuk
waktu yang cukup lama. Rupanya ibuku mendengar kabar tentang keadaan diriku
yang sedang sakit-sakitan, sehingga dia datang ke rumah sakit untuk
menjengukku. Namun setibanya di rumah sakit, dia diusir oleh isteriku yang
kebetulan juga sedang berada disana waktu itu.
Setelah
sekian lama dirawat di rumah sakit, akhirnya akupun diperbolehkan pulang, dan
hanya menjalani rawat jalan. Namun aku sangat terguncang ketika mendapati
kenyataan bahwa aku kehilangan pekerjaan karena sudah tidak mampu lagi
melaksanakan tugas-tugas dari perusahaan. Aku juga kehilangan rumah, dan
hutangku menumpuk, semua itu akibat ulah isteriku yang banyak permintaan dan
gaya hidupnya yang besar pasak daripada tiang.
Sampai
pada suatu ketika, isteriku mendatangiku dan berkata dengan kasar, “Setelah
sekian lama kamu kehilangan pekerjaan dan harta bendamu, serta kedudukan di
tengah-tengah masyarakat, hidupku jadi merana. Maka hari ini aku ingin berterus
terang kepadamu. Aku tak menginginkanmu lagi… ceraikan aku.” Kata-katanya
sungguh pedas menyengat, bagaikan petir yang menyambar kepala.
Tanpa
pikir panjang, seketika itu juga aku menceraikannya. Aku merasa seperti baru
tersadar dari buaian mimpi yang cukup panjang. Aku pergi tanpa arah tujuan yang
jelas. Berhari-hari aku mencari ibuku hingga akhirnya aku menemukannya. Dia
tinggal bersama seorang rahib yang makan dari hasil sedekah. Aku datang
menemuinya, wajahnya pucat pasi karena terlalu banyak menangis, begitu
melihatnya aku langsung bersimpuh di kedua kakinya, aku menangis memohon maaf
pada ibu karena telah membuatnya terlantar.
Aku
memohon kepada ibuku untuk bersedia tinggal bersamaku di rumah kontrakanku yang
sangat kecil. Aku berjanji pada diriku untuk berbakti kepadanya dan merawatnya
dengan penghasilan yang halal walau tak seberapa. Aku bersumpah untuk hidup di
jalan Allah, untuk menjalankan perintah-perintah Allah dan meninggalkan
larangan-larangan-Nya. Kini aku hidup dalam hari-hari yang indah bersama ibuku
tercinta, mudah-mudahan Allah menjaganya. Dan aku bermohon kepada Allah untuk
mengampuni segala dosa dan kesalahanku selama ini.
bisnis baru ustad yusuf mansur
bisnis baru ustad yusuf mansur