Obat Asam Urat dan Awet Muda

Obat Asam Urat dan Awet Muda
Obat Asam Urat dan Awet Muda

Kamis

RAHASIA KESABARAN

Ini adalah kisah nyata yang dialami salah seorang rekan kerja saya sewaktubekerja di Riyadh, memang, di tengah gemuruhnya kota, ternyata Riyadh menyimpan banyak kisah. Kota ini menyimpan banyak rahasia yang hanya diperdengarkan kepada telinga dan hati yang mendengar. Tentu saja, hidayah adalah kehendak-Nya dan hidayah hanya akandiberikan kepada mereka yang mencarinya.

Di Riyadh, saya berteman dengan banyak pekerja dari Negara-negara asing. Ada beberapa yang berasal dari Palestina, Bahrain, Jordan, Syiria, Pakistan, India, Srilanka dan kebanyakan dari Mesir dan Saudi Arabia sendiri. Ada beberapa juga dari suku Arab yang tinggal di benua Afrika. Salah satunya adalahteman dari Negara Sudan, Afrika.


Saya mengenalnya dengan nama Amran Ibrahim, dia salah satu Muslim kulit hitam yang juga bekerja untuk mencari nfkah di kota Riyadh ini.

Beberapa bulan ini saya tidak lagi melihatnya bekerja. Biasanya saya melihatnya bekerja bersama pekerja lainnya menggarap proyek bangunan di tengah terik matahari kota Riyadh yangsampai saat ini belum bisa ramah di kulit saya. Dan hari itu Ibrahim tidak terlihat. Karena penasaran, saya coba tanyakan kepada Iqbal tentang kabarnya.

"Oh kamu tidak tahu?" jawabnya balik bertanya, memakai bahasa inggris khas India yang bercampur dengan loget urdhu yang pekat.

"Iya beberapa minggu ini dia tidk terlihat di Mushola ya?" jawab saya. Selepas itu, tanpa sayaduga Iqbal bercerita panjang lebar tentang Ibrahim. Dia menceritakan tentang hidup Ibrahim yang pedih dari awal hingga akhir, semula saya keheranan melihat matanya yang menerawang jauh. Seperti ingin memanggil kembali sosok teman sekamarnya itu.

Saya mendengarkan dengan seksama. Ternyata Ibrahim datang ke kota Riyadh ini lima tahun yang lalu. Ia datang ke negeri ini dengan tangan kosong, dia nekad pergi meninggalkan keluarganya di Sudan untuk mencari kehidupan di kota ini. Saudi Arabia memang memberikan free visa untuk Negara-negara Arab lainnya termasuk Sudan, jadi ia bisa bebas mencari kerja disini sal punya passport dan tiket.

Sayang, kota metropolitan memang tidak selalu bersahabat. Do'a Ibrahim untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik di kota ini agar bisa menafkahi keluarganya ternyata saat itu belum terkabul. Di bekerja berpindah-pindah dari satu proyek ke proyek lain dengan gaji yang sangat kecil, uang gajinya tidak sanggup untuk membyar apartement hingga ia terpaksa menumpng di apartemen teman-temannya.

Walaupun begitu, Ibrahim tidak putus asa, ia tetap gigih mencari pekerjaan. Ia tetap mencari kesempatan agarbisa mengirim uang untuk keluarganya di Sudan. Bulan pertama berlalu kering, bulan kedua semakin berat. Bulan ketiga hingga tahun-tahun berikutnya kepedihan Ibrahim tidak kunjung berakhir.

Waktu berlalu begitu lambat dan berat, tak terasa sudah lima tahun Ibrahim hidup berpindah-pindah di kota ini. Bekerja di bawah tekanan panas matahari dan suasana Kota yang garang. Tapi Ibrahim tetap bertahan dalam kesabaran.

Semua pasti tahu bahwa kota metropolitan bisa lebih kejam dari hutan rimba jik kita tidak tahu caranya untuk mendapatkan uang, di hutan bahkan lebih baik. Di hutan kita masih bisa menemukan buah-buahan untuk dimakan, tapi di kota? Kota adalah belantara penderitaan yang akan menjerat siapa saja yang tidak mampu bersaing.

Riyadh adalah ibukota Saudi Arabia. Hanya berjarak 7 jam dari Dubai dan 10 jam jarak tempuh dengan bis menuju Mkkah. Di hampir keseluruhan kota ini tidak ada pepohonan untuk berlindung saat panas. Disini hanya ada pohon kurma yang berbuah satu kali dalam setahun.

Ibrahim seperti terjerat di belantara kota ini. Pulang ke Sudanbukan pilihan terbaik, ia sudah melangkah, ia harus membawa perubahanuntuk kehidupan keluarganya di negeri Sudan. Itu tekadnya.

Ibrahim tetap tabah dan tidak lepas tanggung jawab kepada keluarganya. Ia tetap mengirimi mereka uang meski sangat sedikit, meski harus ditukar dengan lapar dan haus untuk raganya disini. Sering ia melewatkan harinya dengan puasa menahan dahaga dan lapar sambil terus melangkah, berikhtiar mencari suap demi suap nasi untuk keluarganya di Sudan.

Tapi Ibrahim pun manusia. Di tahun kelima ini ia tidak tahan lagi menahan malu dengan teman-temannya yang ia kenal, sudah lima tahun ia berpindah-pindah kerja dan menumpang dari teman yang satu ke temannya yang lain, tapi kehidupannya tidak kunjung berubah. Ia pun memutuskan untuk pulang ke Sudan. Tekadnya telah bulat untuk kembali menemui keluarganya, meski tanpa membawa uang untuk diberikan kepada mereka yang telah lama menunggu dirinya. Saat itupun sebenarnya ia tidak memiliki uang, meski sebatas uang untuk tiket pulng. Ia memaksakan diri menceritakan keinginannya untuk pulang itu kepada teman terdekatnya. Dan salah satu teman baik Ibrahim memahaminya, ia memberinya sejumlah uang untuk membeli satu tiket penerbangan ke Sudan.

Hari itu juga Ibrahim berpamitan untuk pergi meninggalkan kota ini dengan niat untuk kembali ke keluarganya dan mencari kehidupan disana saja. Ia pergi ke sebuah Agen Travel di jalan Olaya-Riyadh, untuk menukar uangnya dengan tiket. Sayang, ternyata semua penerbangan Riyadh-Sudan minggu ini sulit didapat karena konflik di Libya, Negara tetangganya. Tiket hanya tersedia untuk kelas executive saja. Akhirnya ia terpaksa membeli tiket untuk penerbangan minggu berikutnya. Ia memesan tiket jauh hari sebelumnya supaya bisa lebih murah. Tiket sudah di tangan, dan jadwal terbang masih minggu depan.

Ibrahim sedikit kebingungan dengan nasibnya. Tadi pagi ia tidak sarapan karena sudah tidak sanggup lagi menahan malu untuk menumpang makan di tempat temannya, siang inipun belum ada celah untuk makan siang. Tapi baginya ini bukan hal pertama. Ia sudah sangat terbiasa dengan keadaan seperti itu.

Adzan dzuhur bergema… semua toko, supermarket, bank, dan kantor pemerintah serentak menutup pintu dan menguncinya. Security kota berjaga-jaga di luar gedung perkantoran, hingga waktu shalat berjamaah selesai.

Ibrahim bergegas menuju sebuah masjid di pusat kota Riyadh. Ia mengikatkantas kosongnya di pinggang, kemudian mengambil wudhu, membasahi wajahnya yang hitam legam, mengusap rambutnya yang keriting dengan air. Lalu ia masuk masjid. Shalat 2 rakaat untuk menghormati masjid. Ia duduk menunggu mutawwa memulai shalat berjamaah.

Hanya di setiap shalat itulah dia merasakan kesejukan. Ia merasa terlepas dari beban dunia yang menindihnya, hingga hatinya berada dalam ketenangan di setiap menit yang ia lalui. Shalat telah selesai. Ibrahim masih bingung untuk memulai langkah. Penerbangan masih seminggu lagi.

Ia terdiam. Dilihatnya beberapa mushaf Al-Quran yang tersimpan rapi di pilar-pilar masjid yang kokoh itu. Ia mengambil salah satunya, bibirnya mulai bergetar membaca taawudz dan terus membaca Al-Qur'an hingga adzan Ashar tiba menyapanya.

Selepas maghrib ia masih disana. Beberapa hari berikutnya, ia memutuskanuntuk tinggal disana hingga jadwal penerbangan ke Sudan tiba. Sudah menjadi kebiasaan Ibrahim untuk bangun awal setiap harinya. Seperti pagi itu, ia adalah orang pertama yang terbangun di sudut kota itu. Dengan suaranya yang indah, Ibrahim mengumandangkan adzan, memanggil semua untuk shalat, membangunkan seisi kota saat fajar menyingsing menyapa kota.

Adzannya memang khas. Jadi bukan sebuah kebetulan jika pangeran (Putra Raja Saudi) yang tinggal di kota itu juga terpanggil untuk shalat subuh berjamaah disana. Adzan itu ia kumandangkan di setiap pagi dalam sisa seminggu terakhirnya di kota Riyadh.

Hingga jadwal penerbangan pun tiba. Di tiket tertulis jadwal penerbangan ke Sudan jam 05:23 am, artinya dia harus sudah ada di bandara jam 3 pagi atau 2 jam sebelumnya. Ibrahim bangun lebih awal dan pamit kepada pengelola masjid, untuk mencari bis menuju bandara King Abdul Aziz Riyadh yang hanya berjarak kurang dari 30 menit dari pusat kota.

Ibrahim sudah duduk diruang tunggu di bandara. Penerbangan sepertinya sedikit ditunda, kecemasan mulai meliputinya. Ia harus pulang ke negerinya tanpa uang sedikitpun, padahal lima tahun ini tidak sebentar, ia sudah berusaha semaksimal mungkin.

Tapi inilah kehidupan, ia memahami bahwa dunia ini hanya persinggahan. Ia tidak ingin mencemarai kedekatannya dengan Allah SWT, penguasa alam semesta ini dengan mengeluh. Ia tetap berjalan tertatih memenuhi kewajiban-kewajibannya, sebagai hamba Allah, sebagai Imam dalam keluarga dan ayah untuk anak-anaknya.

Di tengah-tengah lamunan kecemasannya, ia dikujutkan oleh suara yang memanggil-manggil namanya. Datangnya dari pengeras suara di bandara tersebut, rasa kagetnya belum hilang, Ibrahim dikejutkan lagi oleh sekelompok pria berseragam dan berbadan tegap yang menghampirinya.

Mereka membawa Ibrahim ke mobil tanpa basa-basi, mereka hanya berkata "Pangeran memanggilmu."

Ibrahim pun bertambah kaget ketika mengetahui bahwa ia akan dihadapkan dengan Pangeran. Pangeran adalah Putra Raja, kerajaan Saudi tidak hanya memiliki satu Pangeran. Pangeran dan putri mereka banyak tersebar hingga ratusan di seluruh jazirah Arab ini. Merela memiliki Palace atau istana masing-masing.

Keheranan Ibrahim baru terjawab ketika ia sampai di tempat ia menginap seminggu terakhir itu, disana pengelola masjid itu menceritakan bahwa pangeran merasa kehilangan dengan adzan fajar yang biasa ia lantunkan.

Setiap kali melantunkan adzan, sang pangeran selalu bangun dan merasa terpanggil… hingga ketika adzan itu tidak terdengar, pangeran merasa kehilangan. Saat  mengetahui bahwa sang Muadzin itu ternyata pulang ke negerinya, Pangeran langsung memerintahkan pihak bandara untuk menunda penerbangan dan segera menjemput Ibrahim yang saat itu sudah mau terbang untuk kembali ke negerinya.

Singkat cerita, Ibrahim sudah berhadapan dengan pangeran. Pangeran menyambut Ibrahim di rumahnya, dan menanyakan tentang alasan kenapa ia tergesa pulang ke Sudan. Ibrahim pun menceritakan bahwa ia sudah lima tahun di kota Riyadh ini dan tidak mendapatkan kesempatan kerja yang tetap, serta penghasilannya yang jauh dari cukup untuk bisa menghidupi keluarganya.

Pangeran mengangguk-angguk dan bertanya: "Berapakah gajimu dalam satu bulan?"

Ibrahim bingung menjawabnya, karena gaji yang ia terima tidak pernah tetap. Bahkan sering ia tidak punya gaji sama sekali, bahkan berbulan-bulan tanpa gaji di negeri ini. Pangeran memakluminya. Beliau pun bertanya lagi: "Berapa gaji paling besar dalam sebulan yang pernah kamu dapatkan?"

dahiIbrahim berkerut mengingat kembali catatan hitamnya selama lima tahun kebelakang. Ia lalu menjawabnya dengan malu: "Hanya SR 1.400, jawab Ibrahim."

Pangeran lansung memerintahkan sekretarisnya untuk menghitung uang 1.400 Real itu dikali dengan lima tahun (60 bulan) dan hasilnya adalah SR 84.000 (84 Ribu Real = Rp 184.800.000). saat itu juga bendahara Pangeran menghitung dan menyerahkannya kepada Ibrahim.

Tubuh Ibrahim bergetar melihat keajaiban di hadapannya. Belum selesai bibirnya mengucapkan Alhamdulillah, pangeran yang baik hati itu menghampiri dan memeluknya seraya berkata:

"Aku tahu, cerita tentang keluargamu yang menantimu di Sudan. Pulanglah temui istri dan anakmu dengan uang ini. Lalu kembali lagi setelah 3 bulan. Saya siapkan tiketnya untuk kamu dan keluargamu kembali ke Riyadh. Jadilah Bilal di masjidku… dan hiduplah bersama kami di Palace ini."

Ibrahim tidak tahan lagi menahan air matanya. Bukan karena terharu dengan jumlah uang itu, uang itu memang sangat besar artinya di negeri Sudan yang miskin. Ibrahim menangis karena apa yang diyakininya selama ini terbukti benar, Allah sungguh-sungguh memperhatikannya selama ini, kesabarannya selama lima tahun ini diakhiri dengan cara yang indah.

Ibrahim tidak usah lagi membayangkan hantaman sinar matahari di siang hari yang menggigit kulitnya. Ibrahim tidak usah lagi memikirkan kiriman tiap bulan untuk anak dan istrinya.
Semua berubah dalam sekejap!

Lima tahun itu adalah masa yang lama bagi Ibrahim. Tapi masa yang teramat singkat untuk kekuasaan Allah. Tidak ada yang mungkin bagi Allah. Bumi inipun Milik Allah. Alam Semesta, Hari ini dan Hari Akhir serta Akhirat berada dalam Kekuasaan-Nya.

Inilah buah dari kesabaran dan keikhlasan. Dan kisah Ibrahim pun berakhir bahagia. Saat ini Ibrahim sekeluarga hidup berkecukupan di sebuah rumah di Palace milik Pangeran. Ia dianugerahi oleh Allah di dunia ini hidup yang baik,ia menjabat sebagai Muadzin di masjid Pangeran Saudi Arabia di pusat kota Riyadh.

Subhanallah… seperti itulah buah dari kesabaran.

"Jika sabar itu mudah, tentu semua orang bisa melakukannya. Namun, jika kamu mulai berkata bahwa sabar itu ada batasnya, itu berarti pribadimu belum mampu meresapi arti kesabaran karena sabar itu tak ada batasnya. Batas kesabaran itu terletak di dekat pintu Syurga dalam naungan keridhaan-Nya."

"Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar." (Al Fushilat 35)

Allahu Akbar!

Maha besar Allah dengan segala firman-Nya…



bisnis baru ustad yusuf mansur