Obat Asam Urat dan Awet Muda

Obat Asam Urat dan Awet Muda
Obat Asam Urat dan Awet Muda

Jumat

KAUM SYIAH DAN SUNNI

        
Sejak masih kanak-kanak, yang kutahu dari akidahku hanyalah ghuluw (berlebihan) dalam mencintai ahlul bait. Kami dahulu memohon pertolongan kepada mereka, bersumpah atas nama mereka dan kembali kepada mereka tiap menghadapi bencana. Aku dan kedua saudariku telah dididik seperti itu dan benar-benar meresapi akidah ini sejak kanak-kanak.

Kami memang berasal dari keluarga Syi'ah asli. Kami tidak mengenal tentang mazhab ahlussunnah wal jama'ah kecuali bahwa mereka adalah musuh-musuh ahlul bait Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Mereka lah yang telah merebut kekhalifahan dari tangan amirul mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu, dan mereka lah yang telah membunuh Husain.

Dan akidah ini semakin mendarah daging dalam diri kami melalui hari-hari "Tahrim" yaitu hari berkabung atas ahlul bait, begitu pula ucapan-ucapan Syaikh kami dalam perayaan Husiniyyah dan kaset-kaset ratapan yang memenuhi laciku. Selama ini aku tak pernah bisa memahami tentang akidah mereka (ahlussunnah) sedikitpun. Semua yang kuketahui tentang mereka hanyalah bahwa mereka orang-orang munafik yang ingin menyudutkan ahlul bait yang mulia. Hal-hal itulah yang telah menyebabkan kami sangat membenci para penganut mazhab tersebut, mazhab ahlussunnah wal jama'ah.


Ya… aku membenci mereka sebesar kecintaanku kepada para Imam. Aku membenci mereka sebagaimana anggapan Syia'ah sebagai pihak yang terzhalimi.

Sewaktu aku masih duduk di sekolah dasar. Di sekolah aku mendengar penjelasan Bu Guru tentang mata pelajaran tauhid. Beliau berbicara tentang syirik, dan mengatakan bahwa menyeru selain Allah termasuk bentuk menyekutukan Allah. Contohnya seperti ketika seseorang berkata dalam doanya: "Hai Fulan, selamatkan aku dari bencana… tolonglah aku." Lanjut bu Guru. Maka kukatakan kepadanya: "Bu, kami mengatakan 'Ya Ali,' apakah itu juga termasuk syirik?"

Sejenak kulihat beliau terdiam… seluruh murid di sekolahku, dan sebagian besar guru-gurunya memang menganut mazhab Syia'ah… kemudian bu Guru berkata dengan nada yakin: "Iya, itu syirik" kemudian langsung melontarkan sebuah pertanyaan kepadaku, "Bukankah doa adalah ibadah?"

"Saya tidak tahu," jawabku.

"Coba perhatikan, apa yang Allah katakan tentang doa berikut," lanjutnya seraya membaca firman Allah: dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahanam dalam keadaan hina dina." (Ghaafir: 60)

"Bukankah dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa berdoa adalah ibadah, lalu mengancam orang yang enggan dan takabbur terhadap ibadah tersebut dengan neraka?" tanyanya.

Setelah mendengar penjelasan tersebut, aku merasakan suatu kejanggalan… aku merasa kecewa… segudang perasaan memenuhi benakku tanpa bisa kuungkapkan. Saat itu aku berangan-angan andaikan aku tak pernah menanyakan hal itu kepadanya. Lalu kutatap dia untuk kedua kalinya… ia tetap tegar laksana gunung.

Di rumah, kunantikan kepulangan ayah dengan tidak sabar. Aku berharap berangkali ayah dapat memberi solusi atas permasalahanku ini… maka begitu ayah pulang ke rumah, langsung kutanya tentang apa yang dikatakan oleh Bu Guru tadi. Dengan serta merta ayah menjawab bahwa bu Guru itu termasuk yang membenci Imam Ali. Ia mengatakan bahwa kami tidaklah menyembah Amirul Mukminin, kami tidak mengatakan bahwa dia adalah Allah sehingga gurumu bisa menuduh kami telah berbuat syirik… jelas ayah.

Sebenarnya aku tidak puas dengan jawaban ayahku, sebab bu Guru berdalil dengan firman Allah. Ayah lalu berusaha menjelaskan kepadaku kesalahan mazhab Sunni hingga kebencianku semakin bertambah, dan aku semakin yakin akan batilnya mazhab mereka. Alhasil, aku pun tetap memegang teguh mazhabku, mazhab Syi'ah, hingga adik perempuanku melanjutkan karirnya sebagai pegawai di departemen kesehatan.

Sekarang, biarlah adikku yang melanjutkan cerita.

Setelah masuk ke dunia kerja, aku berkenalan dengan seorang akhwat ahlussunnah wal jama'ah. Ia seorang akhwat yang multazimah (taat) dan berakhlak mulia. Ia disukai oleh semua golongan, baik sunni maupun syia'ah. Aku pun juga menyukainya, dan berangan-angan andai saja dia bermazhab syi'ah.

Karena begitu menyukainya, aku sampai berusaha agar jam kerjaku bertepatan dengan jam kerjanya, dan aku sering kali berdiskusi via telepon dengannya usai jam kerja.

Ibu dan saudariku tahu betapa akrab persahabatanku dengannya, oleh sebab itu aku tak pernah berterus terang kepada mereka tentang akidah sahabatku ini, bahkan kukatakan kepada mereka bahwa dia seorang syia'ah, semua ini kulakukan agar mereka tidak mengganggu persahabatanku dengannya.

Hari itu, aku dan sahabatku bekerja pada shift yang sama. Kutanya dia: "Mengapa sampai bisa ada sunni dan syi'ah, dan mengapa terjadi perpecahan?" ia pun menjawab dengan lembut: "Ukhti, sebelumnya maafkan aku atas apa yang akan kuucapkan… sebenarnya kalianlah yang memisahkan diri dari agama, kalian yang memisahkan diri dari Al-Qur'an dan kalian yang memisahkan diri dari tauhid!!"

Kata-katanya terdengar laksana halilintar yang menembus hati dan pikiranku. Aku memang orang yang paling sedikit mempelajari mazhab di antara saudari-saudariku. Ia kemudian berkata: "Tahukah kamu bahwa ulama-ulama kalian meyakini bahwa Al-Qur'an telah diubah-ubah, meyakini bahwa segala sesuatu ada di tangan imam, mereka menyekutukan Allah, dan seterusnya…?" sembari menyebut sejumlah masalah yang kuharap agar ia diam karena aku tidak mempercayai semua itu.

Sewaktu akan pulang kerja, sahabatku mengeluarkan beberapa lembar kertas dari tasnya seraya mengatakan bahwa itu adalah tulisan saudaranya, berkenan dengan haramnya berdoa kepada selain Allah. Kuambil lembaran-lembaran tersebut, dan dalam perjalanan pulang aku membacanya sekilas sambil merenungkan ucapan sahabatku tadi. Begitu sampai di rumah, aku langsung masuk kamar dan kukunci pintu kamarku. Lalu mulailah kubaca tulisan tersebut. Dan tulisan-tulisan tersebut ternyata sangat menarik perhatianku dan membuatku sering merenungkannya.

Keesokan harinya, sahabatku memberiku sebuah buku berjudul "Lillah, tsumma litaariekh" (karena Allah, kemudian karena sejarah). Sumpah demi Allah, berulang kali aku tersentak membaca apa yang tertulis di dalamnya. Inikah agama kita orang syi'ah? Inikah keyakinan kita?!!

Sahabatku pun semakin akrab denganku. Ia menjelaskan hakikat banyak hal kepadaku. Ia mengatakan bahwa ahlussunnah mencintai Amirul Mukminin dan keluarganya.

Tanpa diketahui oleh seorang pun dari keluargaku, aku pun beralih menganut mazhab ahlussunnah. Sahabatku ini selalu menghubungiku lewat telepon. Bahkan saking seringnya, ia sempat berkenalan dengan kakak perempuanku.
Sekarang, biarlah kakakku yang melanjutkan cerita.

Aku mulai berkenalan dengan akhwat yang baik ini. Sungguh demi Allah, aku jadi menyukainya karena adikku sering bercerita tentangnya. Maka begitu mendengar langsung kata-katanya, aku semakin suka kepadanya. Ketika itu, aku sedang membersihkan rumah dan adikku sedang bekerja di kantor. Di kamarnya aku menemukan sebuah buku bergambar yang berjudul; "Lillah, tsumma litaariekh."

Tanpa bermaksud serius, aku pun membukanya lalu membacanya… sungguh demi Allah, belum genap sepuluh halaman, aku merasa lemas dan tak sanggup merampungkan tugasku membersihkan rumah. Coba bayangkan, dalam sekejap, akidah yang ditanamkan kepadaku selama lebih dari 20 tahun hancur lebur seketika.

Aku menunggu-nunggu kembalinya adikku dari kantornya. Lalu kutanya dia: "Buku apa ini?"3

"Itu pemberian salah seorang perawat di rumah sakit," jawabnya.

"Kau sudah membacanya?" tanyaku.

"Iya, aku sudah membacanya dan aku yakin bahwa mazhab kita keliru, bagaimana denganmu," jawabnya.

"Biar kubaca beberapa halaman," jawabku.

"Bagaimana pendapatmu tentangnya?" tukasnya.

"Kurasa ini semua dusta, sebab kalau benar berarti kita betul-betul sesat dong," sahutku. Dan aku melanutkan dengan sebuah usul, "Mengapa tidak kita tanyakan saja isinya kepada Syaikh?"

"Wah, itu ide yang bagus." Katanya.

Buku itu lantas kukirimkan kepada Syaikh melalui adik laki-lakiku. Kuminta agar ia menanyakan kepada Syaikh apakah yang tertulis di dalamnya benar, ataukah sekedar kebohongan dan omong kosong? Adikku mendatangi Syaikh tersebut dan memberinya buku itu. Maka Syaikh bertanya kepadanya: "Dari mana kau dapat buku ini?"

"Itu pemberian salah seorang perawat kepada kakakku." Jawabnya.

"Beri saya waktu untuk membacanya terlebih dahulu," kata Syaikh, sembari aku berharap dalam hati agar kelak ia mengatakan bahwa semuanya merupakan kebohongan atas kaum syi'ah. Akan tetapi, jauh penggang dari api! Kebatilan pastilah akan sirna…

Aku terus menunggu jawaban dari Syaikh selama sepuluh hari. Harapanku tetap sama, barangkali aku mendapatkan sesuatu darinya yang melegakan hati.

Namun selama sepuluh hari tadi, aku telah mengalami banyak perubahan. Kini sahabatku itu sering berdiskusi panjang lebar denganku lewat telepon, bahkan ia seakan lupa kalau mulanya ia ingin bicara dengan adikku. Kami berdiskusi panjang lebar tentang berbagai masalah.

Pernah suatu hari ia bertanya kepadaku: "Apa kau puas dengan apa yang kita amalkan sebagai orang syi'ah selama ini?" waktu itu aku tidak tahu kalau dia seorang sunni, aku mengira bahwa dia adalah orang syi'ah sama seperti diriku, dan dia tahu akan hal itu.

"Aku ragu apa kita berada di jalan yang benar," jawabku.

"Lalu apa pendapatmu terhadap buku milik adikmu?" tukasnya. Akupun terdiam sejenak… lalu kataku:

"Buku itu telah kuberikan ke salah seorang Syaikh agar ia menjelaskan hakikat buku itu sebenarnya."

"Kurasa ia takkan memberimu jawaban yang bermanfaat, aku telah membacanya berulang kali sebelum engkau dan sudah kuselidiki kebenaran isinya… ternyata apa yang dikandungnya memang sebuah kebenaran yang pahit," jelasnya.

"Aku pun menjadi yakin bahwa apa yang kita yakini selama ini adalah batil," lanjutnya.

Waktu terus berlalu dan kami makin sering berdiskusi lewat telepon dan sebagian besar perbincangan itu mengenai masalah tauhid, ibadah kepada Allah dan kepercayaan kaum syi'ah yang keliru. Tiap hari bersamaan dengan kepulangan adikku dari kantor, ia menitipkan beberapa lembar brosur tentang akidah syi'ah, dan selama itu pula aku berada dalam kebingungan…

Aku teringat kembali akan perkataan bu guru yang selama ini terlupakan. Kuutus adik lelakiku untuk menemui Syaikh dan meminta kembali buku tersebut beserta bantahannya. Akan tetapi sumpah demi Allah, lagi-lagi Syaikh ini mengelak untuk bertemu dengan adikku. Padahal sebelumnya ia selalu mencari adikku, dan kini adikku yang justru meneleponnya. Namun keluarga Syaikh mengatakan bahwa dia tidak ada, dan ketika adikku bertemu dengannya dalam acara Husainiyyah dan menanyakan buku tersebut, Syaikh hanya mengatakan: "Nanti," demikian seterusnya selama dua bulan.

Selama itu, hubunganku dengan sahabat adikku lewat telepon semakin sering terjadi, dan di sela-sela ia menjelaskan kepadaku bahwa dirinya seorang Sunni, alias ahlussunnah wal jama'ah. Dia berkata kepadaku:

"Jujur saja, apa yang membuat kalian membenci ahlussunnah wal jama'ah?" aku sempat ragu sejenak, namun kujawab: "Karena kebencian mereka terhadap ahlul bait."

"Hai ukhti, ahlussunnah wal jama'ah justru mencintai mereka," jawabnya.

Kemudian ia menjelaskan panjang lebar tentang kecintaan ahlussunnah terhadap seluruh keluarga Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam, beda dengan syi'ah Rafidhah yang justru membenci sebagian ahlul bait seperti istri-istri Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam.

Benar, kini aku tahu lebih banyak tentang akidah ahlussunnah wal jama'ah dan aku mulai mencintai akidah yang sesuai dengan fitrah dan jauh dari sikap ghuluw (ekstrim)… jauh dari syirik… dan jauh dari kedustaan.

Kebenaran yang sesungguhnya mulai Nampak terang bagiku, namun aku bingung apakah aku harus meninggalkan agama nenek moyang dan keluargaku? Ataukah memeluk agama yang murni, ridho Allah dan jannah-Nya?

Ya, akhirnya kupilih yang kedua dan aku menjadi seorang ahlussunnah wal jama'ah. Aku kemudian menghubungi akhwat yang shalihah tadi dan kunyatakan kepadanya bahwa hari ini aku 'terlahir kembali.'

Aku seorang sunni, alias ahlussunnah wal jama'ah.

Akhwat tersebut mengucapkan takbir lewat telepon, maka seketika itu melelehlah air mataku… air mata yang membersihkan sanubari dari peninggalan akidah syi'ah yang sarat dengan syirik, bid'ah dan kufarat…

Demikianlah… dan tak lama setelah kami mendapat hidayah, adik kami yang paling kecil serta salah seorang sahabatku juga mendapat hidayah atas karunia Allah Subhanahu wa ta'ala. Kami sangat bahagia, karena pada akhirnya bisa menemukan kebenaran yang telah lama kami rindukan.


bisnis baru ustad yusuf mansur